Integrasi Sains dan Agama dalam Pendidikan

Integrasi Sains dan Agama dalam Pendidikan Hingga dewasa ini, umat Islam dianggap masih belum mampu mengejar ketertinggalan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah dicapai oleh Barat. Adapun salah satu penyebabnya adalah karena sistem pendidikan Islam belum mampu menghadapi perubahan dan menjadi counter ideas terhadap globalisasi kebudayaan. Menurut Zainuddin (2004) setidaknya ada tiga faktor yang menjadikan pendidikan Islam berwatak statis dan tertinggal:

Pertama, subject matter pendidikan Islam masih berorientasi ke masa lalu dan bersifat tekstual-normatif. Meski demikian, ini bukan berarti kita harus meninggalkan warisan masa lalu, karena hal itu merupakan mata rantai sejarah yang tidak boleh dilupakan. Prinsip “Al-muhafadhah al al-qadim as-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah” (memelihara warisan masa lalu yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik) merupakan dasar yang tepat bagi rekonstruksi pemikiran pendidikan Islam.

Kedua, masih mengentalnya sistem pengajaran maintenance learning yang bersifat lamban, pasif, dan menganggap selalu benar terhadap warisan masa lalu.

Ketiga, kuatnya pandangan dikotomis, secara substansial, terhadap ilmu agama dan ilmu umum.

Dikotomi keilmuan sebagai penyebab kemunduran umat Islam disebabkan karena adanya kolonialisme Barat atas dunia Islam sejak abad 18 hingga abad ke 19, dimana negara-negara Islam tidak mampu menolak upaya-upaya yang dilakukan Barat, terutama injeksi budaya dan peradabannya. Karena itu, budaya Barat mendominasi budaya tradisional setempat yang telah dibangun sejak lama. Bahkan bisa dikatakan, ilmu-ilmu umum telah menggantikan ilmu-ilmu agama Islam. Ilmu-ilmu umum yang datang dari Barat itulah yang kemudian didominasikan dalam mata kuliah/mata pelajaran di lembaga-lembaga pendidikan Islam.

Selain itu modernisasi terhadap sistem yang dilakukan dengan cara memadukan dua ideologi Barat: Teknikisme dan Nasionalisme, menurut Ziauddin Sardar sangat membahayakan sistem pendidikan Islam. Apalagi ketika budaya Barat diterima secara total bersama dengan adopsi ilmu pengetahuan dan teknologinya.

Dikotomi ini pada kelanjutannya, berdampak negatif terhadap kemajuan umat Islam. Menurut Ikrom, setidaknya ada empat masalah akibat dikotomi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama.

Pertama, munculnya ambivalensi dalam sistem pendidikan Islam, dimana selama ini, lembaga-lembaga semacam pesantren dan madrasah mencitrakan dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam dengan corak tafaqquh fi al-din yang menganggap persoalan mu’amalah bukan garapan mereka.

Kedua, munculnya kesenjangan antara sistem pendidikan Islam dan ajaran Islam. Sistem pendidikan yang ambivalen mencerminkan pandangan dikotomis yang memisahkan ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum.

Ketiga, terjadinya disintegrasi sistem pendidikan Islam, dimana masing-masing sistem Barat dan agama Islam tetap bersikukuh mempertahankan pendiriannya.

Keempat, munculnya inferioritas pengelola lembaga pendidikan Islam. Hal ini disebabkan karena sistem penddikan Barat yang pada kenyataannya kurang menghargai nilai-nilai kultural dan moral telah dijadikan tolak ukur kemajuan dan keberhasilan sistem pendidikan bangsa kita (Zainuddin, 2008).

Paradigma integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum muncul sebagai bentuk kekhawatiran sebagian pemikir muslim terhadap ancaman yang dominan terhadap pandangan non muslim, khususnya pandangan ilmuwan Barat sehingga umat Islam harus menyelamatkan identitas dan otoritas agamanya.

Integrasi sains dan agama perlu dibangun dengan sistem yang hierarkis, di mana ajaran-ajaran agama yang bersifat sakral posisinya berada jauh di atas sains yang bersifat profan. Artinya kebenaran ajaran ajaran agama yang absolut tidak dapat disejajarkan dengan teori-teori ilmiah yang bersifat dialektis dan spekulatif, meskipun pandangan ilmiah itu sesuai dengan apa yang dijelaskan kitab suci (dogma-dogma agama).

Sedangkan jika ada kontradiksi antara ajaran-ajaran kitab suci dengan dalil-dalil sains, maka dalil-dalil ilmiah itulah yang harus dipertanyakan dan diteliti kembali. Upaya menyejajarkan atau menyetarakan posisi dalil-dalil ilmiah dengan dalil-dalil agama akan berakibat pada reduksionalisasi sakralitas agama. Logika integrasi yang menekankan pada proses dialogis tersebut pada gilirannya akan menundukkan kebenaran universal di bawah kebenaran partikular. Sebab, doma-dogma agama yang kebenarannya absolut cenderung dijadikan pembenar teori-teori sains yang kebenarannya relatif.

Dalam Islam, wacana integrasi sains dan agama mengemuka setelah para ilmuwan Islam modern mengkampanyekan proyek Islamisasi sains. Gagasan tersebut dapat kita temukan pada konsep Islamisasi pengetahuan yang diajukan oleh Sayyid Naquib al-Attas dalam Konferensi Dunia Pertama tentang Pendidikan Islam pada tahun 1977 di kota Makkah. Gagasan ini ditanggapi secara positif oleh Ismail Raji al-Faruqi dengan bukunya “Islamisasi Pengetahuan”. Bagi Faruqi, Islamisasi pengetahuan merupakan usaha untuk mendefinisikan kembali dan membangun kembali sains dalam kerangka Islam dengan memadukan prinsip-prinsip Islam ke dalam ilmu pengetahuan tersebut (Mahzar, 2004).

Memahami proyek Islamisasi ilmu pengetahuan yang dilontarkan oleh para cendekiawan Muslim merupakan upaya positif dalam membangkitkan kembali pemikiran Islam yang sedang berkembang, terutama dalam bidang ilmu pendidikan dan keilmuan. Walaupun mereka memiliki perspektif yang berbeda-beda, namun mereka masih berada dalam koridor Islam. Islamisasi adalah upaya membangkitkan kembali semangat umat Islam dalam ilmu pengetahuan melalui penalaran intelektual dan pengembangan ilmiah dan filosofis yang mendasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits seperti yang telah diraih pada zaman klasik.

Islamisasi ilmu pengetahuan berimplikasi pada lahirnya konsep sistem pendidikan yang terpadu (integral). Sintesa dari pendidikan sistem pendidikan modern dan tradisional yang lebur berdasarkan landasan filosofis Al-Qur’an dan Hadits, sehingga dualisme sistem pendidikan yang melanda dunia Islam bisa ditumbangkan.

Menurut Zanuddin (2004) Model pendidikan yang dilakukan bisa berbentuk:

  1. Model pendidikan umum (modern) yang diisi dengan konsep-konsep Islam. Ini bisa berupa sekolah umum Islam yang memadukan ilmu agama dan ilmu modern.
  2. Model pendidikan tradisional yang dimodernisasi dengan memasukkan ilmu pengetahuan dan teknologi bisa berupa pesantren modern.
  3. Model pendidikan sintesis dari keduanya secara seimbang.

Integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum dalam pendidikan harus dilakukan, dengan alasan, pertama; melalui pendidikan integratif itu akan melahirkan out put yang mempunyai pengamatan terpadu, sebab inti pengetahuan adalah kebenaran atau realitas, kedua; melalui pendidikan integratif dapat dihasilkan manusia yang memiliki perkembangan dan kepribadian yang integral dan seimbang, karena masing-masing mata pelajaran menekankan sistem nilai yang berbeda, sehingga menimbulkan sikap ragu, skeptis dan curiga terhadap segala sesuatu, dan ketiga; pendidikan integratif dapat menghasilkan manusia sosial sebagai anggota masyarakat atas ikatan-ikatan budaya, agama, adat-istiadat yang berhubungan secara harmonis, baik hubungan vertikal maupun hubungan horizontal (Langgulung, 1986).

[wpspoiler name=”Buka Reference” ]Sumber :

Zainuddin , M., 2004,  “UIN: Menuju Integrasi Ilmu dan Agama”,  Malang: UIN Malang Press.

Mahzar , Armahedi, 2004,  Revolusi Integralisme Islam: Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islam, Bandung: PT Mizan Pustaka

Langgulung , Hasan, 1986, Manusia dan Pendidikan , Jakarta: Pustaka Al-Husna[/wpspoiler]